Kamis, 12 November 2009

MANAGEMENT CONFLICT, POWER & POLITICS

. Kamis, 12 November 2009

MANAGEMENT CONFLICT, POWER & POLITICS




Ketika suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.

Para manajer bergantung kepada keterampilan berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal dengan orang lain.
Keterampilan memproses informasi yang dituntut dari seorang manajer termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika bertindak sebagai monitor, juru bicara (speakesperson), maupun penyusun strategi. Sudah menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban sebagai manajer untuk selalu dihadapkan pada konflik. Salah satu titik penting dari tugas seorang manajer dalam melaksanakan komunikasi yang efektif di dalam organisasi bisnis yang ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang diberikan akan sama dengan arti yang diterima oleh penerima instruksi demikian pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini harus menjadi tujuan seorang manajer dalam semua komunikasi yang dilakukannya.
Dalam hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan berusaha untuk meminimalisasi konsekuensi negatif ini dengan cara membuka dan mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan konflik.

I.    Pengertin Konflik
Konflik menurut Robbins adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif atau akan segera memengaruhi secara negatif pihak lain. Sedangkan Alabeness dalam Nimran mengartikan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain. Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa konflik itu adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Jadi jika sesuatu keadaan tidak dirasakan sebagai konflik maka pada dasarnya konflik itu tidak ada.
II.    Pandangan Tentang Konflik
Terdapat tiga pandangan tentang konflik, yaitu:
1.    Pandangan tradisional, menyatakan bahwa konflik harus dihindari karena akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik sebagai sesuatu yang sangat buruk, tidak menguntungkan dalam organisasi. Oleh karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari akar permasalahan.
2.    Pandangan hubungan manusia. Pandangan behaviorial (yang berhubungan dengan tingkah laku) ini menyatakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam setiap kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh karena itu konflik harus dikelola dengan baik.
3.    Pandangan interaksionis. Yang menyatakan bahwa konflik bukan sekedar sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat organisasi itu menjadi statis, stagnan dan tidak inovativ. Dampaknya dalam kinerja organisasi menjadi rendah.


III.     Konflik dan Kinerja Organisasi
Menurut Gareth konflik sangat berguna bagi organisasi karena setelah terjadinya konflik organisasi akan dibawa menuju pada pembelajaran dan perubahan. Untuk setiap organisasi, tingkat optimal konflik yang terjadi dapat dianggap sangat berguna: membantu menghasilkan kinerja yang positif. Di satu pihak, ketika tingkat konflik terlalu rendah, kinerja bisa menjadi buruk. Menciptakan inovasi dan perubahan adalah sulit, dan organisasi dapat mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dengan perubahan lingkungannya. Jika konflik tingkat rendah ini terus berlanjut, kelangsungan kehidupan organisasi dapat terancam. Di lain pihak, jika tingkat konflik terlalu tinggi, berakibat kekacauan yang dapat pula mengancam kelangsungan hidup organisasi. Lihat gambar:
Gbr 2.1 . Hubungan Proporsional antara Konflik Antar Kelompok dan Kinerja Organisasi












Tabel: 1.2 Penjelasan
    Tingkat konflik antar kelompok    Kemungkinan dampak pada organisasi    Organisasi dicirikan oleh    Tingkat kinerja organisasi
Situasi I    Rendah atau tidak ada    Tidak berfungsi (disfungsional)    Lambat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, sedikit perubahan, sedikit rangsangan/ide, apatis dan stagnan    Rendah
Situasi II    Optimal    Berfungsi (fungsional)    Pergerakan positif menuju tujuan, inovatif, dorongan melakukan perubahan, beradaptasi terhadap perubahan lingkungan    Tinggi
Situasi III    Tinggi    Tidak berfungsi (disfungsional)    Kekacauan, tidak ada kerjasama, tidak ada koordinasi    Rendah

Dengan menggunakan pendekatan ini, kita dapat mendefinisikan konflik dalam batasan pengaruhnya dalam organisasi. Dalam pemabahasan ini kita menyinggung kedua konflik yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik Fungsional adalah sebuah konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Konflik fungsional ini dapat diibaratkan sebagai jenis “tekanan kreatif.” Konflik Disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi diantara kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaiaan tujuan organisasi.
IV.    Proses Konflik
Menurut Louis R. Pondy terdpat lima proses konflik, yaitu dimulai dari:
1.    Tahap I, Laten Conflict (konflik laten) yaitu tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi. Pada tahap ini, hal-hal yang berpotensial menyebabkan konflik ada, tetapi konflik belum muncul. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini seperti: 
?    Saling ketergantungan kerja (interdependence) terjadi bila dua atau lebih kelompok organisasi tergantung satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Potensi konflik pada keadaan ini sangat tinggi. Karena aktivitas subunit yang berbeda saling terkait, kepentingan subunit untuk otonomi membawa konflik pada kelompok. Kadang kepentingan subunit untuk otonomi menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasi untuk koordinasi. Saling ketergantungan dikelompokan dalam: (1) saling ketergantungan yang dikelompokan, tidak memerlukan adanya interaksi diantara kelompok sebab setiap kelompok, bertindak secara terpisah. Potensi konflik pada bentuk saling ketergantungan  yang dikelompokan relatif rendah, dan manajemen dapat mengandalkan pada peraturan dan prosedur standar yang dikembangkan dikantor pusat untuk koordinasi. (2) Saling ketergantungan berurutan, memerlukan satu kelompok sebelum kelompok lain menyelesaikan tugasnya. (3) saling ketergantungan timbal balik, yaitu memerlukan hasil dari tiap kelompok untuk dijadikan masukan bagi kelompok lain dalam organisasi.
?    Perbedaan tujuan dan prioritas, perbedaan dalam orientasi subunit mempengaruhi cara masing-masing fungsi atau divisi dalam memandang dunia dan menyebabkan masing-masing subunit mengejar tujuan yang berbeda yang sering tidak konsisten atau tidak kompatibel.
?    Faktor birokrasi, cara dimana hubungan tugas berkembang dalam organisasi juga dapat menjadi sumber potensial terjadinya konflik. Konflik terjadi karena inkonsistensi status antara kelompok yang berbeda dalam birokrasi organisasi. Konflik tipe birokrasi klasik terjadi antara staff dengan fungsi lini . Fungsi lini melihat diri mereka sebagai sumber organisasi yang penting dan orang-orang dalam fungsi staff sebagai pemain kedua. Dengan tindakan yang berdasakan hal ini, fungsi lini secara terus-menerus menggunakan statusnya sebagai penghasil barang dan jasa untuk menyesuaikan kepentingannya diatas kepentingan fungsi lain. Dan akhirnya adalah terjadinya konflik.
?    Kriteria kinerja yang tidak kompatibel, cara organisasi berbeda dalam memonitor, mengevaluasi dan memberi reward kepada subunit membawa mereka ke dalam konflik. Contoh: jika system reward organisasi memberikan manfaat kepada personel penjualan (mendapat bonus lebih tinggi karena biaya yang lebih tinggi) tetapi menghukum bagian manufaktur (tidak mendapatkan bonus yang tinggi karena meningkatnya biaya), maka konflik akan muncul. Dengan mendesain kembali system reward sehingga tidak menimbulkan konflik antara divisi-divisi sebaiknya menjadi salah satu prioritas utama manajemen.
?    Persaingan untuk sumber daya yang langka, ketika sumber daya langka, pilihan mengenai alokasi sumber daya harus dibuat, dan subunit harus bersaing untuk saham mereka. Dengan dana yang lebih mereka dapat memperoleh sumber daya dan berinvestasi dengan cepat mereka dapat berkembang.
2.    Tahap II, Perceived Conflict (konflik yang dipersepsikan), pada tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain sebagai penghambat atau mengacam pencapaian tujuannya. Subunit mulai mendefinisikan mengapa konflik muncul dan menganalisis kejadian-kejadian yang telah membawa pada konflik. Secara normal pada point ini, konflik meningkat karena subunit atau stakeholder mulai memerangi penyebab masalah.
3.    Tahap III, Felt Conflict (konflik yang dirasakan), pada tahap ini konflik tidak sekedar dipandang ada, akan tetapi benar-benar sudah dirasakan. Subunit dalam konflik secara cepat mengembangkan respon emosional kepada yang lain. Karena konflik meningkat, kerjasama antara subunit gagal dan begitu juga keefektifan organisasi. Jika tidak ada yang dilakukan untuk mengatasinya, masalah kecil akan meningkat menjadi konflik yang besar yang akan sulit untuk dimanage.
4.    Tahap IV, Manifest Conflict (konflik yang dimanifestasikan), pada tahap manifest conflict, satu subunit menekan subunit lain dengan berusaha menghalangi tujuannya. Pada tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai ditunjukan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, rendahnya kinerja,dll.
5.    Tahap V, Conflict Aftermath, jika konflik benar-benar diselesaikan maka hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya jika penyelesaian tidak tepat maka akan dapat menimbulkan konflik baru. Cepat atau lambat, konflik organisasi diatasi dalam beberapa cara, seringnya dengan keputusan beberapa manager senior. Setiap episode konflik meninggalkan suatu conflict aftermath yang mempengaruhi cara kedua pihak untuk melihat dan bereaksi pada episode mendatang. Jika konflik diatasi sebelum masuk ke tahap manifest conflict, maka aftermath akan mempromosikan hubungan kerja yang baik dimasa mendatang. Jika konflik tidak diatasi sampai akhir proses, atau tidak diatasi sama sekali, aftermath akan memperburuk hubungan kerja di masa datang, dan budaya organisasi akan teracuni oleh hubungan yang tidak kooperatif.

Proses konflik (conflict process) menurut Robbins dapat dipahami sebagai sebuah proses yang terdiri atas lima tahapan, yaitu :
1.    Tahap I, Potensi pertentangan atau ketidakselarasan, yaitu tahap munculnya kondisi-kondisi yang menciptakan peluang bagi pecahnya konflik. Kondisi-kondisi tersebut dapat dipadatkan dalam tiga katagori umum yaitu :
a.    Komunikasi
Komunikasi dapat menjadi sumber konflik diakibatkan kesulitan semantik, kesalahpahaman dan “kegaduhan”.
b.    Struktur
Konflik dapat bersifat struktural, hal ini mencakup variabel-variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan yurisdiksi, keserasian antar anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan kadar ketergantungan dalam kelompok.
c.    Variabel-variabel pribadi
Potensi konflik lainnya dapat meliputi kepribadian, emosi, dan nilai-nilai.
2.    Tahap II, Kognitif dan personalia, yaitu tahap dimana isu-isu konflik biasanya didefinisikan dan pada gilirannya akan menentukan jalan panjang menuju akhir penyelesaian konflik. Sebagai contoh, emosi yang negatif dapat menyebabkan peremehan persoalan, menurunnya tingkat kepercayaan dan interpretasi negatif atas perilaku pihak lain. Sebaliknya, perasaan positif dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat potensi hubungan diantara elemen-elemen suatu masalah, memandang secara lebih luas suatu situasi dan mengembangkan berbagai solusi yang lebih inovatif.
Konflik disyaratkan adanya persepsi dengan kata lain bahwa tidak berarti konflik itu personalisasi. Selanjutnya konflik pada tingkatan perasaan yaitu ketika orang mulai terlibat secara emosional.
3.    Tahap III, Maksud, yaitu keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu. Menurut Robbins maksud (intention), mengintervensi antar persepsi serta emosi orang  dan perilaku luaran mereka. Banyak konflik muncul karena salah-satu pihak salah dalam memahami maksud pihak lain. Dengan menggunakan dua dimensi yaitu pertama, sifat kooperatif (kadar sampai mana salah-satu pihak berusaha memuaskan kepentingan pihak lain). Kedua, sifat tegas (kadar sampai mana salah-satu pihak berupaya memperjuangkan kepentingannya sendiri).
Adapun lima maksud penanganan konflik berhasil diidentifikasikan, yaitu sebagai berikut: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerja sama (tegas dan kooporatif), menghindar (tidak tegas dan tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah-tengah antara tegas dan kooperatif).
4.    Tahap IV, Perilaku, meliputi pernyataan aksi dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dengan demikian dalam konflik dibutuhkan teknik-teknik manajemen konflik sehingga mendorong konflik mencapai tingkat konflik yang diinginkan.
5.    Tahap V, Akibat, jalinan aksi reaksi antara pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Akibat atau konsekuensi ini bisa bersifat fungsional, dalam arti konflik tersebut menghasilkan kinerja kelompok, atau juga bersifat disfungsional karena justru menghambat kinerja kelompok.

V.    MEMANAGE KONFLIK: STRATEGI RESOLUSI KONFLIK
Untuk memanage konflik dapat dilakukan dengan mengubah struktur organisasi untuk mengurangi atau menghilangkan penyebab konflik atau mencoba mengubah sikap individu atau mengganti individu itu sendiri.
Bertindak pada level struktur
Mengubah tingkat diferensiasi dan integrasi untuk mengubah hubungan tugas merupakan salah satu cara untuk mengatasi konflik. Meningkatkan level integrasi adalah salah satu cara utama dimana organisasi dapat memanage masalah perbedaan dalam tujuan subunit. Mengatasi situasi konflik yang berpotensial, organisasi dapat meningkatkan penggunaan aturan tambahan mereka, tekanan tugas, dan mekanisme integrasi. Cara lain untuk memanage konflik adalah meyakinkan bahwa desain hierarki otoritas organisasi berada dalam lini dengan kebutuhannya. Dengan mendatarkan hierarki akan memperjelas hubungan otoritas, dan otoritas yang didesentralisasi dapat menghilangkan sumber utama konflik organisasi.
Bertindak pada level Sikap dan Individu
Metode yang banyak dipakai tetapi sering tidak dikenal dalam mengatasi konflik antar kelompok adalah proses perundingan. Jika dilakukan dengan efektif, proses negosiasi dapat menyebabkan kelanjutan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan usaha kerjasama untuk mencapai nilai-nilai tidak terdapat sebelumnya. Negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak atau lebih melakukakan pertukaran barang atau jasa untuk menyepakati nilai tukarnya. Dalam negosiasi ada proses tawar-menawar yakni tawar-menawar distributive dan tawar menawar integratif.
Distributive adalah negosiasi yang berusaha membagi sumber daya yang jumlahnya tetap; situasi menang-kalah. Integratif adalah negosiasi yang didasarkan pada asumsi bahwa ada satu penyelsaian atau lebih yang dapat menciptakan solusi menang-menang atau saling menguntungkan.
Salah satu cara untuk mengurangi konflik antara subunit dan mencegah polarisasi sikap yang dihasilkan selama tahap felt conflict dalam model Pondy adalah membentuk sistem prosedur yang menginjinkan pihak-pihak dalam konflik melepaskan penyesalannya dan mendengarkan titik pandang kelompok lain. Komite atau tim, dapat menyediakan suatu forum dimana subunit dapat bertemu langsung dan bernegosiasi antara satu dengan yang lain. Komponen yang penting dalam tawar-menawar, dalam pembicaraan buruh adalah struktur sikap. Organisasi sering melibatkan negosiator pihak ketiga untuk meluruskan pembicaraan antara subunit atau stakeholder. Negosiator pihak ketiga dapat berupa manajer senior yang dipekerjaan karena keahliannya dalam mengatasi perpecahan organisasi.
Cara lain untuk memanage konflik melalui perubahan sikap adalah dengan menukar dan memutar orang-orang antar subunit/rolling untuk mendorong kelompok mempelajari cara pandang kelompok lain. Hal ini dapat dilakukan secara permanen dengan mentransfer karyawan ke bagian lain dalam organisasi, mempromosikan mereka, atau memecat mereka. Kita telah melihat bahwa manajer puncak selalu diganti untuk mengatasi inersia dan mengubah sikap organisasi.
VI.    Proses Negosiasi
Menurut Robbins proses negosiasi terdiri atas lima tahap, yaitu :
a.    Persiapan dan perencanaan
Dalam bagian ini harus memprediksi alternatif terbaik untuk kesepakatan negosiasi (BATNA). Alternatif inilah yang tebaik bagi sebuah kesepakatan negosiasi; nilai terendah yang dapat diterima bagi seorang individu untuk sebuah kesepakatan negosiasi.
b.    Penentuan aturan dasar
Anda mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar dengan pihak lain untuk negosiasi itu sendiri. Misalnya: siapa yang melakukan perundingan, dimana perundingan berlangsung, persoalan yang akan dinegosiasikan, dll.  
c.    Klarifikasi dan justifikasi
Inilah titik dimana anda perlu memberikan segala dokumentasi kepada pihak lain, yang kiranya dapat membantu mendukung posisi anda.
d.    Tawar-menawar dan penyelasaian
Hal ini dilakukan dalam rangka mencari suatu kesepakatan sehingga perlu dibuat oleh kedua belah pihak.
e.    Penutupan dan implementasi
Dalam hal ini kita mengformalkan kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur yang diperlukan untuk implementasi dan pengawasan pelaksanaan berupa kontrak.
VII.    Isu-Isu dalam Negosiasi
Ada empat isu kontemporer dan negosiasi, yaitu :
1.    Peran suara hati dan sifat kepribadian dalam negosiasi
Suasana hati penting dalam negosiasi. Hasil penilaian terhadap hubungan kepribadian - negosiasi menunjukkan bahwa memiliki keterkaitan. Contoh: para perunding yang menyenangkan sering gagal total ketika harus melakukan tawar-menawar distributive. Selain dari itu ego yang besar juga dapat mempengaruhi negosiasi. 
2.    Perbedaan gender dalam negosiasi
Stereotip populer mengatakan bahwa kaum perempuan lebih koopratif dan menyenangkan dalam negosiasi daripada kaum laki-laki.
3.    Perbedaan kultur dalam negosiasi
Gaya organisasi beragam antar satu kultur dengan kultur lain. Misalnya: orang Prancis menyukai konflik sehingga mereka butuh waktu lama untuk negosiasi. Orang Cina suka mengulur-ulur perundingan. Orang Amerika dikenal karena ketidaksabaran mereka.
4.    Negosiasi pihak ketiga
Ada empat peran pokok pihak ketiga, yaitu:
a.    Mediator : pihak ketiga yang bersikap netral yang mengfasilitasi negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi, menyodorkan alternatif dan semacamnya.
b.    Arbitrator : pihak ketiga yang memiliki wewenang untuk menentukan kespakatan.
c.    Konsiliator : pihak ketiga yang dipercaya untuk membangun relasi komunikasi informal antara perunding dan lawannya.
d.    Konsultan : pihak ketiga yang terlatih dan tidak berpihak yang berupaya mengfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi analisis dengan dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai manajemen konflik.
 






KEKUASAAN dan POLITIK

A.     KEKUASAAN
I.    Arti kekuasan
Kekuasaan adalah bagian yang mengisi jalinan kehidupan organisasi. Manajer pada organisasi baik publik ataupun swasta memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan, dan banyak kasus untuk memperkuat posisinya sendiri. Keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam menggunakan dan bereaksi pada kekuasaan sangat ditentukan oleh pengertiannya tentang kekuasaan, mengetahui bagaimana dan kapan menggunakannya, dan dapat mengantisipasi kemungkinan akibat-akibatnya. Meskipun dalam bidang perilaku organisasi, kekuasaan memiliki definisi yang sangat beragam dari semua yang ada dan jarang mempunyai sebuah definisi yang disepakati bersama. Chester Benard, mendefinisikan kekuasaan dalam konteks “otoritas informal,” dan banyak sosiologi organisasi mendefinisikan otoritas sebagai “legitimasi kekuasaan.” Untuk itu perbedaan antara konsep perlu dijelaskan untuk memahami kekuasaan dengan baik.
Menurut Robbins kekuasaan mengacu pada kemampuan yang dimiliki A untuk mempngaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A. Barangkali aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa hal ini merupakan fungsi ketergantungan. Semakin besar ketergantungan B pada A, semakin besar pula kekuasaan A dalam hubungan tersebut. Sedangkan menurut Garreth kekuasaan adalah legitimasi oleh hukum dan dasar budaya darimana organisasi itu bersumber, hal itu adalah sumber kekuasaan dalam suatu organisasi. 
II.    Membandingkan antara kepemimpinan dan kekuasaan
Kekuasaan tidak mengsyaratkan kesesuaian tujuan, hanya ketergantungan. Sebaliknya kepemimpinan mengsyaratkan keserasian antara tujuan pemimpin dan mereka yang dipimpin. Kepemimpinan berfokus pada pengaruh ke bawah kepada para pengikut, meminimalkan pola-pola pengaruh ke samping dan ke atas sedangkan kekuasaan tidak demikian. Kekuasaan cenderung mencakup bidang yang lebih luas dan terfokus pada taktik-taktik untuk memperoleh kepatuhan dari anak buah.

III.    Landasan kekuasaan
Kekuasaan berasal dari kelompok umum - formal dan pribadi – dan selanjutnya memecahkan masing-masing menjadi beberapa kategori yang lebih spesifik.
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu dalam sebuah organisasi. Kekuasaan formal mencakup tiga hal, yaitu:
a.    Kekuasaan penghargaan/imbalan yakni kepatuhan yang dicapai berdasarkan kemampuan memberikan imbalan yang dipandang bernilai oleh orang lain. Dalam konteks organisasi, manajer mempunyai penghargaan potensial, seperti keunikan haji, promosi dan penghargaan yang tersedia untuk mereka. Dalam pembelajaran operant, dalam hal ini bahwa manajer mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan dorongan yang positif. Dalam konteks motivasi harapan, hal ini berarti orang mempunyai kekuasaan untuk menyediakan valensi positif dan orang lain menilai kemampuan tersebut.
b.    Kekuasaan koersif yakni kekuasaan yang bergantung pada rasa takut. Kekuasaan ini diakibatkan karena rasa takut terhadap akibat-akibat negatif yang mungkin terjadi jika ia tidak patuh.
c.    Kekuasaan legitimasi. Sumber kekuasaan yang diidentifikasi oleh Frence dan Reven, berakar dari nilai yang terinternalisasi dari orang lain yang memberikan hak legitimasi kepada agen untuk mempengaruhi mereka. Kekuasaan legitimasi hampir serupa dengan otoritas dan berhubungan dekat dengan kekuasaan penghargaan dan koersif karena orang dengan legitimasi juga berada dalam posisi memberi penghargaan dan menghukum. Perbedaaannya, legitimasi tidak tergantung dengan orang pada hubungan dengan orang lain, tetapi lebih kepada posisi atau peran yang dimiliki seeseorang. Kekuasaan legitimasi berasal dari tiga sumber utama. Pertama, nilai budaya yang kuat dari masyaraakat, organisasi atau kelompok menentukan apa itu legitimasi. Kedua, orang dapat memperoleh legitimasi dari struktur sosial yang diterima. Ketiga, kekuasaan legitimasi muncul dari tujuan sebagai agen, representatif, atau kelompok yang berkuasa.
Selanjutnya John French dan Bertram Reven juga mendefinisikan dan menganalisa jenis kekuasaan klasik, dan menambahkan 2 jenis kekuasaan, yang merupakan kekuasaan pribadi, yakni :
a.    Kekuasaan rujukan atau referen. Jenis kekuasaan ini berasal dari syarat sebagian orang untuk dikenal agen yang memegang kekuasaan. Misalnya, manajer dengan kekuasaan referen harus menarik (kharismatik).
b.    Kekuasaan keahlian. Sumber kekuasaan keahlian didasarkan pada seberapa orang mempunyai atribut pengetahuan dan keahlian untuk memegang kekuasaan. Kekuasaan keahlian lebih tergantung pada hal ini yaitu semua sumber kekuasaan tergantung pada persepsi individu.

IV.    Hal-hal yang menyebabkan ketergantungan dalam kekuasaan
Ketergantungan akan meningkat bila sumber-sumber daya yang anda kendalikan itu penting, langka dan tak tergantikan.
a.    Nilai penting, jika tak seorangpun menginginkan yang anda miliki maka ketergantungan pada anda tidak akan tercipta. Untuk itu hal-hal yang anda kontrol haruslah hal-hal yang dianggap penting.
b.    Kelangkaan; jika sesuatu itu berjumlah banyak kepemilikan atasnya tidak akan meningkatkan derajat kekuasaan anda. Satu sumber daya harus bisa dilihat sebagai sesuatu yang langka guna menciptakan ketergantungan.
c.    Keadaan yang tak tergantikan; semakin sedikit pengganti yang tersedia bagi suatu sumber daya, semakin besar kekuasaan yang diberikan oleh kontrol atas sumber daya tersebut. 

V.    Pendekatan Kotigensi Pada kekuasaan
Seperti dalam area perilaku dan manajemen organisasi, muncul pendekatan kontigensi pada kekuasaan. Misalnya, Pfreffren secara sederhana menyatakan bahwa kekuasaan muncul dari tempat yang “tepat.” Dia mendefinisikan tempat atau posisi yang tepat dalam organisasi di mana manajer harus:
1.    Mengontrol sumber daya seperti anggaran, fasilitias fisik, dan posisi yang dapat digunakan untuk memperkuat hubungan dan dukungan.
2.    Mengontrol akses informasi yang ekstensif – mengenai aktifitas organisasi, preferensi atau penilaian pada orang lain, apa yang terjadi, dan mengenai siapa yang melakukannya

3.    Otoritas formal
Terdapat beberapa dukungan penelitian untuk observasi tersebut, dan juga terdapat beberapa penemuan penelitian yang menghasilkan kesimpulan kontigensi seperti berikut ini:
a.    Semakin besar profesional dari anggota kelompok, semakin besar kekuatan relatif  yang dimiliki kekuasaan referen dalam mempengaruhi anggota.
b.    Semakin kecil usaha dan minat anggota berkedudukan tinggi untuk mengaloksikan tugas, semakin mungkin anggota berkedudukan rendah untuk memperoleh kekuasaan yang relevan dengan tugas ini.

VI.    Sumber Kekuasaan Organisasi
Jika orang, kelompok dan divisi terlibat dalam aktivitas untuk meningkatkan kekuasaan dalam suatu organisasi, dari mana mereka mendapatkan kekuasaan? Apa yang memberikan seseorang kekuasaan untuk mempengaruhi, membentuk, mengontrol perilaku yang lain? Untuk menjawab ini, kita harus mengenali sumber kekuasaan organisasi.
Otoritas
Otoritas, kekuasaan yang dilegitimasi oleh dasar yang legal dan kultural sebagaimana yang didasarkan oleh organisasi, adalah sumber kekuatan organisasi. Kadang, bawahan yang aktif atau kompetitif secara tidak langsung dapat mengambil otoritas atasan dengan mengasumsikan tugas dan tanggung jawab atasan. Hasilnya adalah meskipun atasan mempunyai otoritas yang dilegitimasi, bawahan mempunyai kekuasaan yang nyata. Jika manager memberikan terlalu banyak informasi, bawahan akan mengetahui apa yang dilakukan manajer, dan kekuasaan pada bawahan akan hilang. Karyawan yang mendapatkan otoritas dan tanggung jawab yang lebih selalu meminta hak yang lebih dari organisasi.
Pengawasan pada sumber daya
Manajer yang membuat keputusan dan melakukan tindakan yang menguntungkan perusahaan dapat meningkatkan kekuasaan mereka. Karena kekuasaan organisasi berkembang maka kontrol organisasi dan sumber daya organisasi menjadi lebih besar, sehingga kekuasaan dalam organisasi datang dari pengawasan sumber daya. Uang atau modal, adalah sumber daya organisasi yang harus ada karena uang dapat membeli semua sumber daya yang lainnya. Secara legal, mereka mengawasi alokasi uang dalam organisasi dan mengontrol masa depannya. Kemampuan untuk menghasilkan sumber daya finansial juga merupakan sumber kekuatan yang penting.
Pengawasan pada informasi
Pengawasan informasi merupakan sumber kekuatan beberapa orang atau subunit dalam peran yang khusus. Fungsi-fungsi bisa mempunyai kekuasaan karena mereka mengontrol informasi dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah organisasi. Semua subunit mempunyai beberapa ahli informasi dan pengetahuan, tetapi fungsi atau divisi yang mengontrol informasi mempunyai kekuasaan yang lebih besar.
Nonsubstatibilitas
Jika tidak ada orang lain yang dapat melakukan tugas yang dilakukan oleh subunit, orang tersebut bersifat tidaktergantikan. Hasilnya ketidaktergantikannya mereka, mendatangkan kekuasaan bagi mereka.
Keterpusatan/sentralitas   
Manajer mempunyai kekuasaan karena dia dapat mengontrol arus informasi dan memusatkan pada proses pengambilan keputusan. Strategi organisasi merupakan penentu yang sangat penting dimana subunit terpusat dalam suatu organisasi.



Pengawasan pada ketidakpastian
Subunit yang dapat mengawasi sumber ketidakpastian atau kontinjensi yang dihadapi organisasi maka dia mempunyai kekuatan yang signifikan. Cth : ganja. Menjadi satu-satunya bandar.
Kekuasaan yang tidak mendesak (tambahan): pengawasan Premis Pengambilan keputusan
Sumber kekuasaan lain adalah kekuasaan koalisi dominan yaitu koalisi yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk mengontrol proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil dalam situasi konflik menarik koalisi. Ketika subunit mempunyai kepentingan yang sama, merka bergabung menjadi koalisi dan meningkatkan kekuasaan mereka untuk tujuan umum mereka.

VII.    Taktik kekuasaan
Adalah cara individu untuk menerjemahkan landasan kekuasaan ke dalam tindakan-tindakan tertentu. Ada sembilan taktik, yaitu sebagai berikut:
1.    Legitimasi, mengandalkan posisi kewenangan seseorang atau menekankan bahwa sebuah permintaan selaras dengan kebijakan atau ketentuan organisasi.
2.    Persuasi rasional, menyajikan argumen-argumen yang logis, dan berbagai bukti faktual untuk memperlihatkan bahwa sebuah permintaan itu masuk akal.
3.    Seruan inspirasional, mengembangkan komitmen, emosional dengan cara mneyerukan nilai-nilai, kebutuhan, harapan dan aspirasi sebuah sasaran.
4.    Konsultasi, meningkatkan motivasi dan dukungan dari pihak yang menjadi sasaran dengan cara melibatkannya dalam memutuskan bagaimana rencana atau perubahan akan dijalankan.
5.    Tukar pendapat, memberikan imbalan kepada target atau sasaran berupa uang atau penghargaan lain sebagai ganti karena mau menaati suatu permintaan.
6.    Seruan pribadi, meminta kepatuhan berdasarkan persahabatan atau kesetiaan.
7.    Menyenangkan orang lain, menggunakan rayuan, pujian atau perilaku bersahabat sebelum membuat permintaan.
8.    Tekanan, menggunakan peringatan, tuntutan tegas dan ancaman.
9.    Koalisi, meminta bantuan orang lain untuk membujuk sasaran atau menggunakan dukungan orang lain sebagai alasan agar sisa saran setuju.
Koalisi merupakan suatu klompok informal yang diikat oleh satu isu perjuangan yang sama.

VIII.    Perspektif Politik Kekuasaan dalam Organisasi
Pencetus teori organisasi klasik menggambarkan organisasi sebagai struktur rasional yang otoritasnya diikuti oleh rantai perintah dimana manajer melegitimasi kekuasaan. Beberapa area yang relevan – pada tingkat tertentu – apakah sebuah organisasi lebih politis daripada rasional. Area-area tesebut adalah:
1.    Sumber daya. Ada hubungan langsung antara muatan politik, dan sebebrapa kritis dan seberapa langka sumber daya. Politik juga akan berkembang bila ada infus dari sumber daya baru yang “tidak diklaim.”
2.    Keputusan. Keputusan yang ambigu, keputusan yang tanpa persetujuan, dan keputusan strategis jangka panjang yang tidak jelas menimbulkan keputusan politik, bukannya keputusan rutin.
3.    Tujuan. Bila semakin ambigu dan kompleks, tujuan akan semakin bersifat politis.
4.    Teknologi dan lingkungan eksternal. Pada umumnya, bila teknologi internal organisasi semakin kompleks, politik semakin meningkat.
5.    Perubahan. Reorganisasi atau perkembangan organisasi (OD) yang terencana bahkan perubahan yang tidak terencana membawa kekuatan eksternal yang akan mendukung manuver politik.
Sudah diimplikasikan sebelumnya bahwa beberapa organisasi dan beberapa sub unit di dalamnya akan lebih politis. Sebagian besar organisasi pada masa kini memenuhi persyaratan untuk menjadi organisasi dengan tingkat politik yang tinggi, yakni dengan mereka yang memimiliki sumber daya yang terbatas; terjadi peningkatan teknologi yang kompleks, dan mengalami perubahan drastis. Situasi semacam ini membuat organisasi menjadi semakin politis, dan permainan kekuasaan semakin meningkat.

B.    POLITIK
I.    Definisi Politik
Menurut Gareth, politik organisasi adalah aktivitas yang dilakukan dalam organisasi untuk memperoleh, mengembangkan, dan menggunakan kekuasaan dan sumber daya lain untuk memperoleh hasil yang diinginkan seseorang dalam situasi dimana terdapat ketidakpastian atau ketidaksetujuan mengenai pilihan. Untuk memanage proses perubahan dalam mengatasi konflik individu, subunit dan koalisi selalu terlibat dalam politik organisasi dan perilaku untuk mendorong kekuatan dan pengaruh yang mereka miliki.
Menurut Robbins, perilaku politik didefinisikan sebagai aktifitas yang tidak dianggap sebagai bagian dari peran formal seseorang di dalam organisasi, tetapi yang mempengaruhi, atau berusaha mempengaruhi, distribusi keuntungan dan kerugian dalam organisasi. Hal ini merupakan upaya untuk mempengaruhi tujuan, kriteria atau prses-proses yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Politik adalah sebuah kenyataan hidup dalam organisasi. Perilaku politik yang sah dalam organisasi adalah politik dalam keseharian yang normal/ wajar, misalnya: menyampaikan keluhan pada atasan sesuai dengan rantai komando, membangun koalisi, menentang kebijakan atau keputusan organisasi lewat pemogokan atau dengan terlalu berpegang ketat pada ketentuan yang ada, dan menjalin hubungan keluar organisasi melalui kegiatan profesi. Sedangkan perilaku politik yang menyimpang dari aturan main yang ditentukan merupakan perilaku politik yang tidak sah (“orang-orang yang bermain api”), misalnya: sabotase, melaporkan kesalahan, dan protes-protes simbolisasi, seperti mengenakan pakaian nyeleneh atau bros tanda protes, dan beberapa karyawan yang secara serentak berpura-pura sakit agar tidak perlu masuk kantor.




II.    Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku politik
a.    Faktor individu
Para peneliti mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian tertentu, kebutuhan dan beberapa faktor lain yang dapat dikaitkan dengan perilaku politik seseorang.
•    Kemampuan merefleksi diri yang baik
•    Pusat kendali internal
•    Kepribadian high mach (lincah)
•    Investasi organisasi
•    Alternative pekerjaan yang diyakini ada harapan dan kesuksesan

b.    Faktor organisasi
Kegiatan politik kiranya lebih merupakan fungsi karakteristik organisasi ketimbang fungsi variabel perbedaan individu.
•    Realokasi sumber daya
•    Peluang promosi
•    Tingkat kepercayaan rendah
•    Ambiugisitas peran
•    System evaluasi kinerja tidak jelas
•    Praktik-praktik imbalan zero-sum
•    Pengambilan keputusan yang demokratis
•    Tekanan kinerja tinggi
•    Para manejer senior yang egois

III.    Tanggapan terhadap politik dalam organisasi
Dalam pembahasan sebelumnya pada bab ini mengenai faftor-faktor yang berkontribusi pada perilaku politik, kita melihat hasil-hasil yang menguntungkan bagi mereka yang berhasil dalam perilaku politiknya. Tetapi bagi sebagian besar orang – yang keterampilan berpolitiknya biasa-biasa saja atau tidak mau bermain politik – hasilnya cenderung negatif. Orang kadangkala memandang politik sebagai peluang sehingga ia berperilaku defensive, yakni perilaku reaktif dan protektif untuk menghindari aksi, disalahkan atau perubahan.

Menghindari Aksi :
•    Terlalu tunduk pada aturan : secara ketat menafsirkan tanggung jawab anda dengan mengatakan seperti “Aturan dengan jelas menyatakan “ atau “beginilah kita selalu melakukannya”.
•    Melempar tanggung jawab : mengalihkan tanggung jawab atas tugas atau keputusan kepada orang lain.
•    Membisu. Menghindari tugas yang tidak diinginkan dngan pura-pura tidak tahu atau tidak mampu
•    Mengulur-ulur waktu. Memperlama suatu tugas sehingga kelihatan sibuk-misalnya mengrjakan tugas yang seharusnya bisa diselesaikan dua minggu menjadi empat bulan.
•    Menipu. Bersikap mendukung didepan umum padahal scara pribadi hanya berbuat sedikit atau tidak berbuat sama sekali.

Menghindari dipersalahkan:
•    Memoles. Inilah istilah yang halus untuk menunjuk pada upaya menutupi kelemahan anda. Di sini, yang dilakukan adalah scara cermat dan seksama mendokumntasikan aktivitas yang memproyeksikan citra kompentensi dan ketelitian.
•    Bermain aman. Menghindari situasi-situasi yang bias menunjukan kelemahan. Cara ini termasuk mengambil proyek-proyek dengan kemungkinan berhasil tinggi saja, meminta keputusan-keputusan beresiko yang disetujui oleh atasan, membatasi ungkapan penilaian, dan mengambil posisi netral dalam konflik
•    Membenarkan. Menyusun penjelasan-penjelasan yang mengurangi tanggung jawab seseorang atas suatu hasil negatif dan/atau memaafkan untuk menunjukan penyesalan
•    Mencari kambing hitam. Menyalahkan hasil negative pada factor-faktor eksternal yang tidak selayakanya dipersalahkan
•    Misrepresentasi (tidak menampilkan yang sebenarnya). Manipulasi informasi dengan distorsi, menambah-nambah biar bagus, penipuan, presentasi selektif, atau pembingunan.

Menghindari Perubahan :
•    Pencegahan. Mencoba mencegah terjadinya perubahan yang dirasa mengancam.
•    Perlindungan diri. Bertindak dengan berbagai cara untuk melindungi kepentingan pribadi seseorang selama masa perubahan dengan menjaga informasi atau sumber-sumber daya lainnya.
•    Perilaku defesinve. Perilaku reaktif dan protektif untuk menghindari dipersalahkan atau perubahan.
•    Pengaturan Kesan. Proses yang dengan individu-individu berupaya mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadap diri mereka.

Selain itu dalam konteks politik kesan yang bagus mungkin bisa mempengaruhi distribusi keuntungan untuk kepentingan mereka sendiri. Proses yang digunakan para individu untuk mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadap diri mereka disebut pengelolaan atau manajemen kesan (impression management). Pengelolaan atau manajemen kesan adalah proses yang dengannya individu-individu berupaya mnegendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadap diri mereka.
Teknik-teknik pengelolaan konflik, yaitu sebagai berikut :
•    Keselarasan, sepakat dengan pendapat seseorang untuk mendapat persetujuannya
•    Alasan, penjelasan mengenai suatu kejadian yang menyebabkan situasi dengan maksud untuk meminimalkan kerumitan situasi sulit tersebut
•    Permintaan maaf, mengakui tanggung jawab atas kejadian yang tidak di harapkan sekaligu meminta maaf atas tindakan tersebut
•    Promosi diri, menyoroti sifat-sifat terbaik, meremehkan kekurangan dan menonjolkan prestasi diri sendiri
•    Pujian, menyenangkan orang dengan menyebutkan kebaikan mereka agar diri sendiri tampak persepktif dan disukai
•    Sesuatu yang menyenangkan, melakukan sesuatu yang menyenangkan seseorang untuk mendapatkan persetujuan orang tersebut
•    Asosiasi, menaikan atau melindungi citra seseorang dengan mengatur informasi tentang orang dan hal-hal yang dengannya orang diasosiasikan.
 
IV.    Taktik dalam bermain politik
Untuk mengerti komponen politik dalam kehidupan berorganisasi, kita harus mencermati taktik dan strategi politik yang digunakan oleh tiap tiap individu dan sub unit untuk meningkatkan peluang mereka memenangkan permainan politik. Setiap individu dan sub unit dapat menggunakan berbagai taktik politik untuk mendapatkan kekuatan dalam meraih tujuan mereka.
1.    Meningkatkan kemutlakan.
Seorang politisi menjalankan taktik agar individu atau sub unit dapat meningkatkan kemutlakan untuk mengembangkan organisasi. Kemutlakan dapat diraih dengan meningkatkan ketidaktergantikanan.
2.    Meningkatkan ketidaktergantikanan.
Tingkah laku seorang manajer menentukan ketidaktergantikanan mereka. Mereka perlu mengembangkan kemampuan berorganisasi, seperti seseorang dengan kemampuan komputer yang dapat menyelesaikan suatu persoalan manajer-manajer lainnya. Seorang politikus perlu meningkatkan kemampuan khusus di bidangnya, misalnya perdagangan internasional, pengendalian polusi, atau dalam bidang kesehatan dan keselamatan.
3.    Meningkatkan keterpusatan
Manajer menggunakan kemampuan lebih diri mereka sebagai pusat dari organisasi. Mereka menerima tanggung jawab yang membawa mereka untuk berhubungan dengan beberapa fungsi atau beberapa manajer lainnya yang mana akan meningkatkan personal reputasi mereka atau fungsi mereka.
4.    Bergabung dengan manajer yang kuat
Langkah lainnya untuk mendapatkan kekuasaan adalah menempatkan diri dalam manajerial sangat berkuasa untuk memuluskan jalan menuju puncak. 
5.    Membangun dan mengendalikan koalisi
Membentuk suatu kondisi dengan ketertarikan yang berbeda, stakeholder individu-individu dan sub unit di sekitar isu utama merupakan taktik politik seorang manajer menuju kekuasaan untuk menyelsaikan konflik sesuai dengan keinginan dia.
6.    Mempengaruhi pengambilan keputusan
Merupakan taktik politik yang sangat penting untuk meningkatkan dan menggunakan kekuasaan dalam mempngaruhi pengambilan keputusan.
7.    Mengendalikan agenda
Di sini manajer dan koalisi dalam pengontrolan komite sehingga mereka dapat mengontrol agenda atau bisnis dari komite tersebut.
8.    Membawa ahli dari luar
Manajer puncak dalam memutuskan perubahan atau restruktur organisasi, semua manajer dan koalisi tahu individu atau kelompok tersebut berperan untuk ketertarikan atau barangkali untuk politik bertahan hidup. Untuk itu mereka harus belajar taktik politik dari pengalaman sendiri mereka (di manapun pengalaman itu mereka ambil) sebagai bagian dari kemampuan politik untuk bertahan dalam suatu organisasi.
Ada bermacam-macam strategi politik untuk mendapatkan kekuasaan dalam organisasi. Tabel 1.5 memberikan catatan strategis yang representatif. Riset juga dilakukan dalam taktik politik. Yulk dan Falbe menemukan taktik atau pengaruh politik yang bisa ditemukan dalam organisasi masa kini. Taktik tersebut dapat di lihat dalam tabel 1.6. Yulk dan rekan-rekan menemukan bahwa konsultasi dan taktik persuasi rasional paling sering digunakan, dan menjadi lebih efektif lagi seiring dengan kehadiran yang inspirasional. Beberapa pencetus organisasi modern lebih mempercayai pendekatan analitis strategis dari pda yang ada pada tabel 1.5 dan 1.6, dan mereka lebih tergantung kepada konsep ketidakpastian dalam strategi politik kekusaan mereka.
Tabel. 1.5 Strategi Politik untuk Mendapatkan Kekuasaan dalam Organisasi
Menerima nasehat
Mempertahankann kemampuan manuver
Mengembangkan keterbatasan komunikasi
Menunjukan kepercayaan diri
Mengontrol akses terhadap informasi dan manusia
Membuat aktivitas sentral yang tidak bisa digantikan
Membentuk hubungan sponsor-protege
Menstimulasi kompetisi antarkaryawan ambisius
Menetralkan pihak oposisi yang berpotensi
Membuat strategi pemindahan
Mengubah yang tidak berkomitmen menjadi berkomitmen
Membentuk koalisi yang menguntungkan
Mengembangkan keahlian
Membentuk orng yang ahli dibidangnya
Mengusahakan imbalan balik
Riset data untuk mendukung cara pandang seseorang
Melarang komuniksi dengan tujuan tidak baik
Menghindari perselisihan yang tidak berguna


Tabel 1.6. Taktik Politik melalui Riset
Taktik     Keterangan
Taktik tekanan    Menggunakan tuntutan, ancaman, atau itimidasi untuk memastikan Anda tunduk pada permintaan atau mendukung proposal
Daya tarik tingkat atas     Mempengaruhi Anda dengan mengatakn bahwa proposal telah disetujui manajemen atas agar Anda dapat memenuhi tuntutan
Taktik pertukaran    Membuat janji implisit atau eskplisit yang menyatakan bahwa Anda akan menerima penghhargaan atau keuntuungan nyata jika anda mampu memenuhi tuntutan dan mendukung proposal, atau menginginkan Anda kepada perjanjin awal untuk saling memberi bantuan
Taktik koalisi    Mencari bantuan orang lain untuk meyakinkan Anda agar Anda mau melakukannya, atau menggunakan pengaruh orang lain sebaggai argumen supaya Anda menyetujuinya
Persesai rasional    Memakai argumen logis dan bukti faktual untuk meyakinkan Anda bahwa proposal dan permintaan tersebut berjalan dengan baik dan berhasil mencapai tujuan tugas
Daya tarik inspirasional    Membuat permintaan yang emosional atau proposal yang menimbulkan antusiasme yang dapat menampilkan nilai-nilai dan idelaisme Anda, atau meningkatkan kepercayaan diri Anda bahwa Anda dapat melakukannya
Taktik konsultasi    Menggunakan partisipasi Anda dalam membuat suatu keputusan atau perencanaan bagaimana mengimplementasikan kebijaksanaan, strategi, atau perrubahan

Salah satu dari strategi komprehensif dan relevan bagi manajer moder, dicetus oleh DuBrin. Pengamat pada strategi DuBrin dan strategi lainnya memberi padangan penting terhadap kekuasaan dan politik modern.
1.    Mempertahankan aliansi dengan orang-orang berkuasa, seperti yang ditekankan sebelumnya, formasi koalisi (aliansi) penting bagi akuisi kekuasaan dalam organisasi.
2.    Kawan atau lawan
3.    Memisahkan dan memerintah, strategi politik dan militer yang sudah sangt dikenal ini juga dapat diaplikasikan dalam akuisisi kekuasaan organisasi modern. Contoh; seorang kepala keaungan berusaha bisa memicu konflik antara bagian penjualan dan produksi dengan harapan agar mendapat anggaran yang lebih dari anggaran terbatas presiden  perusahaan tersebut.
4.    Manipulasi informasi yang dikelompokan, pentingnya mendapatkan dan menyebarkan informasi. Anggota organisasi, dengan taktik politik yang tajam dn cermat, mengtrol informasi demi mendapatkan kekuasaan.
5.    Melakukan pertunjukan kilat, strategi ini berurusan dengan memberikan penampilan terbaik dalam proeyek atau tugas pekerjaan secepat mungkin agar mendapat perhatian.
6.    Mengumpulkan dan menggunakan IOU, orang yang mencari kekuasaan akan memberi banyak bantuan kepeda orang lain dengan harapan orang tersebut akan behutang budi kepadanya dan akan membalas ketiak diminta.
7.    Menghindari keterlibatan dengan tegas (Fabianisme), Strategi ini lambat dan mudah-lebih mendekati pendekatan evolusioner daripada revolusioner, misalnya si pencari kekuasaan dengan berlahan tapi pasti menyusup dan memperoleh kepercayaan dan kerjasama dengan orang lain.
8.    Menyerang dan menyalahkan orang lain, taktik politis ini membuat orang lain “terlihat buruk” agar si pencari kekuasaan “terlihat lebih baik.” Menyerang dan manyalahakan orang lain adalah upaya untuk menghindari tanggung jawab.
9.    Maju satu langkah dalam satu waktu, Strategi ini mengambil langkah dalam satu waktu, bukan memasakan diri mengerjakan seluruh proyek besar atau upaya reorganisasi.
10.    Menunggu saat terjadinya krisis, Strategi ini merupakan kebalikan dari “tidak ada kabar baik” sehingga kabar buruk mendapat perhatian.
11.    Menerima nasehat dengan hati-hati, Strategi politis ini lebih menitikberatkan pada mempertahakan kekuasaan daripada memperolehnya.
12.    Waspada terhadap ketergantungan sumber daya alam, Subunit dan individu yang paling berkuasa adalah mereka yang berkontribusi dengan sumber daya yang bernilai. Mengontrol sumber daya depertemen atau orang lain membutuhkan bergaining power. Semua taktik politis ini adalah bagian dari suatu permainan dan pertempuran dalam organisasi.

1 Komentar:

Unknown mengatakan...

Halo, saya Ibu Diana, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 1,5. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: Dianarobertloanfirm@gmail.com

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
boss-mails.com

LIPUTAN UTAMA:

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Distributed by Deluxe Templates